PELOPOR TASAWUF


PELOPOR TASAWUF


Dikota Basrah muncul AL-HASAN AL-BASRI (Madinah,21H/642M – Basrah,110 H/728M) seorang ulama besar dalam beberapa bidang Ilmu, seperti: Hadis, Fikih dan Tafsir, juga seorang pendidik dan sufi. Nama lengkapnya Abu Sa’id al-Hasan bin Abi Hasan Yasar al-Basri. Ayahnya bernama Yasar al-Basri Maula Zaid bin Sabit al Ansari, sedangkan ibunya bernama Khairah Maulat Ummu Salamah. Keluarga al-Hasan al-Basri adalah keluarga yang berilmu dan menaruh perhatian terhadap ilmu terutama Al Qur’an dan Hadis. Ibunya sendiri sangat dekat dengan Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah , tergolong orang berilmu. Ibunya adalah penghapal dan periwayat hadis, yang menerima dan meriwayatkan banyak hadis dari Ummu Salamah.

Pendidikan awal Al Hasan al-Basri diperoleh dari keluarganya sendiri terutama dari Ibunya. Ibunya memberikan pengaruh yang besar tehadap perkembangan dan pertumbuhan al Hasan al-Basri dan saudaranya Sa’id bin Abi Hasan Yasar al-Basri. Ia banyak mendengar riwayat hadits dari ibunya, para Sahabat dan para Tabiin dan pada usianya 14 Tahun ia sudah menghapal al Qur’an. Ia banyak belajar dan berada dalam asuhan ilmu dari Ali bin Abi Talib, terutama ilmu tentang kerohanian dan dari Huzaifah bin Yaman.

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa al Hasan al Basri, selain sempat bertemu Ali bin Abi Talib, ia juga sempat bertemu Talhah bin Ubaidillah, dan Aisyah binti Abu Bakar. Ia menerima hadis riwayat beberapa sahabat dan para perawi hadis lainnya seperti: Ubay bin Ka’b (w.19H), Sa’id bin Ubadah, Umar bin Khattab, Ammar bin Yasir, Abu Hurairah, Usman bin Affan, Abdullah bin Umar, Hamid at-Tawil, Yazid bin Abi Maryam, dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

Menurut Ahmad Ismail al-Basit, seorang ulama Yordania, membagi masa kehidupan al Hasan atas tiga periode yaitu:

(1) periode Tahun 21-42 H;
(2) periode tahun 43-53H; dan
(3) periode 53-110H.

Periode pertama merupakan periode kehidupannya di Madinah, ia banyak menimba ilmu bukan hanya dari ibunya tetapi dari sebagian sahabat.

Pada periode kedua, ia melibatkan diri dalam peperangan dan penaklukan wilayah-wilayah baru. Pada saat yang bersamaan ia banyak bertemu dengan para sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan menimba ilmu dari mereka. Pada periode ini juga ia menjadi sekretaris Rabi` bin Ziyad al-Harisi (w.53), seorang amir Sijistan Khurasan (Persia).

Periode ke tiga ia habiskan waktunya di Basra untuk menyampaikan dan mengajarkan ilmunya. Ia membuka madrasah al Hasan al-Basri, Ia menyampaikan pesan-pesan pendidikannya melalui 2 Cara:

1. Ia mengajak murid-muridnya menghidupkan kembali kondisi masa salaf, seperti yang terjadi pada masa para sahabat nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, terutama masa umar bin Khattab, yang selalu berpegang teguh kepada kitabullah dan sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam;

2. Ia menyerukan kepada murid-muridnya untuk bersikap Zuhud dalam menghadapi kemewahan dunia, zuhud dalam pengertiannya adalah tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari persoalan dunia, tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang ada

Tentang tasawuf al Hasan al-Basri berkata:

”Barangsiapa yang memakai tasawuf karena tawaduk (kepatuhan) kepada Allah akan ditambah Allah cahaya dalam diri dan Hatinya, dan barang siapa yang memakai tasawuf karena kesombongan kepadanya akan dicampakkan kedalam neraka”.

Al Hasan al-Basri masyhur dengan kezuhudannya yang berlandaskan Khauf (Takut kepada kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan diiringi dengan raj
ā (senantiasa mengharapkan Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala). Saking takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ia selalu membayangkan bahwa neraka itu seakan-akan diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata hanya untuk dirinya. Oleh sebab itu al Hasan al-Basri mengatakan: ”Jauhilah dunia ini karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan, tetapi racunnya mematikan.”

Kedalaman pengetahuan al-Hasan al-Basri mengenai tasawuf cenderung untuk mengartikan beberapa istilah dalam agama Islam menurut pendekatan tasawuf.

Islam, misalnya, diartikan penyerahan hati dan jiwa hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keselamatan seseorang muslim dari gangguan muslim lain.

Orang beriman, menurutnya adalah orang yang mengetahui bahwa apa yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu pula yang harus dia katakan.

Orang mukmin ialah orang yang paling baik amalannya dan paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sekalipun ia menafkahkan hartanya setinggi gunung ia seakan-akan tidak dapat melihatnya (tidak menceritakannya).

Para sufi menurut pengertiannya adalah orang yang hatinya selalu bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memiliki ciri al: berbicara benar, menepati janji, mengadakan silaturahmi, menyayangi yang lemah, tidak memuji diri dan mengerjakan yang baik-baik.

Fakih, menurutnya orang yang zahid terhadap dunia dan senang terhadap akhirat, melihat dan memahami agamanya, senantiasa beribadah kepada tuhannya, bersikap warak, menjaga kehormatan kaum muslimin dan harta benda mereka dan menjadi penasihat dan pembimbing bagi masyarakatnya.

Al Hasan al-Basri dan para ulama lain seperti Sulaiman bin Umar. Merupakan ulama besar yang dimintai kerjasamanya oleh Umar bin Abdul Azis (Madinah, 63 H/682M – 101H/720M)

Khalifah dinasti Umayyah, yang pertama, yang meminta nasihat dan Fatwa mereka tentang berbagai kebijaksanaan, mengajarkan rakyat mengenai hukum syariat, setia mengikuti perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi larangannya.

Dan pada masa Umar bin Abdul Azis umat Islam mengalami kesejahteraan dan masalah Khilafiah antara Syiah dan Suni dapat diluruskan..

Sebenarnya banyak tokoh-tokoh lain yang baik untuk diteladani seperti Malik Bin Dinar (w.171 H) murid dari al Hasan al-Basri, Tokoh Tabiin di kufah antara lain Sufyan as-Sauri (97-161H) yang terkenal kealimannya dalam bidang hadis dan fikih, tokoh kufah lainya seperti: Rabi bin Khaisam, Sa’id bin Jubair, Tawus bin Kaisan al-Yamani, Sufyan bin Uyainah, Jabir bin Hayyan dan Abu Hasyim. Umumnya mereka mempunyai ketekunan yang istimewah dalam beribadah. Dalam hal ini satu riwayat dari Imam al-Gazali dikatakan bahwa diantara mereka ada yang sanggup melakukan qiy
ām al-lail (Shalat malam) sepanjang malam.

Berikut nasihat, pendapat dan fatwa para imam dan ulama tentang sufi dan tasawuf:

Imam Abu Hanifa (81-150 H./700-767 CE)
Imam Abu Hanifa (r) (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja’far as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.

Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa Ibn ‘Abideen said, “Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim an-Nasarabadi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta’i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifa (r), yang mendukung jalan Sufi.” Imam berkata sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu’man, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man (saya) telah celaka.” Itulah dua tahun bersama Ja’far as-Sadiq.

Imam Malik (94-179 H./716-795 CE)
Imam Malik (r): “man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasauf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasauf dan fikh dia meraih kebenaran).” (dalam buku ‘Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195)

Imam Syafi’i (150-205 H./767-820 CE)
Imam Syafi’i : ”Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:

1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara.
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut.
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf

[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam 'Ajluni, vol. 1, p. 341.]

Dalam Diwan (puisi) Imam Syafii, nomor 108 :

“Jadilah ahli fiqih dan sufi Jangan menjadi salah satunya Demi Allah Aku menasehatimu”.

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 CE)

Imam Ahmad (r) : “Ya walladee ‘alayka bi-jallassati ha’ula’i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu ‘alayna bikathuratil ‘ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa ‘uluwal himmat (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” –Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi)

Imam Ahmad (r) tentang Sufi:”Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” ( Ghiza al-Albab, vol. 1, p. 120)

Imam al-Qushayri (d. 465 H./1072 CE)
Imam al-Qushayri tentang Tasawuf: “Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali-wali-Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyf). Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya .” [ar-Risalat al-Qushayriyya, p. 2]

Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 CE)
Imam Ghazali, hujjatul-Islam, tentang tasawuf : “Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].

Imam Nawawi (620-676 H./1223-1278 CE)
Dalam suratnya al-Maqasid : “Ciri jalan sufi ada 5 : menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata menghindari ketergantungan kepada orang lain bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, p. 20]

Imam Fakhr ad-Din ar-Razi (544-606 H./1149-1209 CE)
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi : “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan diri mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri mereka agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku” .” [Ictiqadat Furaq al-Musliman, p. 72, 73]

Ibn Khaldun (733-808 H./1332-1406 CE)
Ibn Khaldun : “Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi’een, and Tabi’ at-Tabi’een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia” [Muqaddimat ibn Khaldan, p. 328]

Tajuddin as-Subki

Mu’eed an-Na’eem, p. 190, dalam tasauf: “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah” Dia berkata: “Mereka adalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia.

Jalaluddin as-Suyuti

Dalam Ta’yad al-haqiqat al-’Aliyya, p. 57: “tasawuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”

Ulama besar, Ibn ‘Abidin dalam Rasa’il Ibn Abidin (p. 172-173) menyatakan: ” Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka”. [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].

Abul ‘Ala Mawdudi

Dalam Mabadi’ al-Islam (p. 17), “Tasauf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul” “Tasauf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya.” Ringkasnya, tasauf, dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam, memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagian dan kedamaian. Dengan itu manusia dapat menemukan diri sendir dan, dengan demikian, menemukan Tuhannya. Dengan itu manusia dapat meningkatkan, merubah dan menaikan diri sendiri dan mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia dan dari godaan keindahan materi. Dan Allah yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya.
Sebaik - baik orang diantara kamu ialah yang mau belajar Alqur'an dan mau mengajarkannya/mengamalkannya